2 Menghidupkan syari`at. 3. Mendekatkan diri kepada Allah. 4. Menghilangkan kejahilan dari dirinya mahupun orang lain. 5. Menghidupkan agama dan mengekalkan agama Islam kepada kebaikan dan mencegah keburukan dari dirinya sendiri atau orang lain, sesuai tahap kemampuan. 3.
Tidak diragukan lagi bahwa belajar dan menuntut ilmu agama telah dijelaskan keutamaannya dalam nash yang terbilang dalam al-Quran maupun al-Hadist, diantaranya Allah berfirman يَرْفَعِ ٱللَّهُ ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ مِنكُمْ وَٱلَّذِينَ أُوتُوا۟ ٱلْعِلْمَ دَرَجَٰتٍ “Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat”. al-Mujadilah 11. Disebutkan pula dalam hadist bahwa Rasul sallallahu alaihi wa sallam bersabda وَإِنَّ فَضْلَ الْعَالِمِ على الْعَابِدِ كَفَضْلِ الْقَمَرِ لَيْلَةَ الْبَدْرِ على سَائِرِ الْكَوَاكِبِ “Sesungguhnya keutamaan seorang yang berilmu dibanding ahli ibadah, seperti keutamaan bulan di malam purnama dibanding seluruh bintang- bintang.” HR. Abu Dawud Ibnu Majah dari hadis Abu Darda’ radhiyallahu anhu. Seorang penuntut ilmu jika senantiasa menghadirkan keutamaan yang disebutkan dalam dalil-dalil tersebut. Karena sangatlah penting agar ia bisa tetap memberikan suntikan semangat untuk belajar. Dan menuntut ilmu itu memiliki adab-adab yang harus diperhatikan. Ketika seorang pembelajar memegang adab-adab ini, maka dampaknya akan memberikan nilai positif ketika berinteraksi dengan guru dan teman sejawatnya dalam belajar. Ia juga bisa memperingkas jalan dia dalam belajar. Bisa mengetahui mana yang lebih penting dari perkara-perkara penting dalam belajar yang harus diambil terlebih dahulu. Bahkan adab belajar bisa menuntun dia kepada jalan yang akan menjadikannya ahli ilmu yang kokoh dalam keilmuan. Nasehat ulama tentang pentingnya beradab sebelum berilmu Sebagaimana hal tersebut telah dicontohkan oleh para kibar ulama. Sebagian adab-adab belajar bisa didapat dengan membaca buku-buku yang ditulis dalam tema ini, atau juga bisa diambil dengan berinteraksi langsung dengan para ulama. Berikut diantara statement ulama yang menekankan pentingnya beradab dahulu sebelum menuntut ilmu Berkata Ibnu Wahb ما نقلنا من أدب مالك أكثر مما تعلمنا من علمه “Apa yang kami nukilkan dari adabnya Imam Malik jumlahnya lebih banyak daripada apa yang kami pelajari dari ilmunya”. Lihat Siyar al-A’lam al-Nubala juz8 hal113 Kebutuhan seorang penuntut ilmu akan adab sebelum memulai menuntut ilmu adalah perkara yang sangat penting, oleh karenanya begitu banyak wasiat para ulama dalam masalah ini. Salah satu contohnya, wasiat Imam Malik ketika mengarahkan seorang pemuda quroys dalam belajar, beliau mengatakan يا ابن أخي، تعلم الاب قبل أن تتعلم العلم “Wahai putra saudaraku, belajarlah adab sebelum engkau mempelajari ilmu”. Lihat al-Hilyah oleh Abu Nu’aim juz6 hal330 Yusuf bin Husain juga berkata بالأدب تفهم العلم “Dengan adab anda akan memahami ilmu”. Lihat Iqtidhou al-Ilmi al-Amal oleh al-Khatib al-Baghdady hal170. Begitupula Abu Abdillah al-Balkhy mengatakan أدب العلم أكثر من العلم “Adab berilmu lebih banyak dari ilmu itu sendiri”. Lihat al-Aadabu al-Syariyyah juz3 hal552 Juga lihatlah Imam Laits ibnu Sa’ad ketika beliau mengawasi penuntut ilmu hadist, kemudian beliau melihat ada sesuatu yang kurang pas dalam sikap mereka, kemudian beliau menegur ما هذا؟ أنتم إلى يسير من الأدب أحوج منكم إلى كثير من العلم “Apa ini? Kebutuhan kalian terhadap sedikit adab itu lebih mendesak daripada kebutuhan kalian pada ilmu yang banyak”. Lihat Syarafu Ashabi al-Hadist oleh al-Khatib al-Baghdady no283. Dari beberapa kutipan di atas, kita kemudian menjadi tahu urgensi mempelajari adab sebelum menuntut ilmu, apalah arti seseorang memiliki ilmu yang banyak dan luas namun tidak beradab, justru dampak negatifnya akan lebih besar daripada dampak positif yang akan dibawa. Adab – adab seorang penuntut ilmu Secara singkat, berikut beberapa adab-adab menuntut ilmu yang perlu untuk diketahui oleh para pembelajar ilmu syari sebagaimana disampaikan menurut syaikh al-Munajjid 1. Kesabaran. Menuntut ilmu adalah termasuk perkara mulia dan tinggi dalam sudut pandang agama, dan perkara yang mulia tidaklah bisa dituai melainkan harus bersusah payah dan berlelah-lelah, dan ini semua butuh kesabaran. 2. Mengikhlaskan amalan. Maksudnya adalah menjadikan upaya menuntut ilmu itu sebagai bentuk mencari keridoan Allah, harus ikhlas, jauh dari riya dan keinginan untuk agar bisa tampil dan merasa tinggi di hadapan orang lain, benar-benar tujuannya untuk mengangkat kebodohan dalam diri dan pada orang lain. 3. Mengamalkan ilmu yang didapat. Ketahuilah, bahwa mengamalkan ilmu itu adalah tanda bahwa ilmu tersebut berbuah, barangsiapa yang memiliki ilmu namun tidak mengamalkannya, sejatinya ia telah menyerupai kaum yahudi dalam hal ini. 4. Senantiasa merasa diawasi oleh Allah. Wajibnya bagi penuntut ilmu untuk menghiasi dirinya dengan perasaan diawasi oleh Allah muroqobatullah baik dalam keadaan sembunyi maupun terang, berjalan menuju Allah dengan didampingi perasaan takut khouf dan harap roja, selalu memenuhi hati dengan rasa cinta pada Allah ta’ala al-mahabbah. 5. Memanfaatkan waktu dengan baik. Yaitu bersegera memanfaatkan waktu muda dan umur dengan sebaik mungkin untuk menggali ilmu, jangan terlalu banyak ungkapan besok atau menunda-nunda amalan, jangan terlalu banyak harapan namun minim aksi, menit demi menit berlalu, hari, pekan, bulan dan seterusnya, jika tidak dimanfaatkan waktu itu dengan baik maka kita akan merugi. 6. Himbauan untuk tidak sibuk dengan khilaf para ulama. Sekali-kali janganlah engkau menyibukkan dirimu dengan persilangan pendapat para ulama pada awal mulai belajar, atau menyibukkan dengan perselisihan di tengah manusia secara mutlak, karena hal tersebut akan membingungkan pikiran, juga jangan terlalu membaca terlalu banyak dari banyak sumber, tapi pilihlah kitab-kitab dasar yang sudah diarahkan oleh guru, dibaca dan dikuasai dengan baik sampai mutqin, dengan begitu akan lebih bisa menghemat waktu. 7. Memahami ilmu secara cermat dan itqan menguasai sempurna. Bersemangatlah memahami ilmu secara cermat dan mutqin, tentunya hal tersebut bisa diwujudkan ketika mempelajari ilmu dengan didampingi oleh syaikh atau guru yang berkompeten, dengan menghafal ilmu tersebut, senantiasa diulang-ulang secara periodik agar tidak mudah lupa dan lekang oleh waktu. 8. Menelaah kitab-kitab. Setelah kita menghafal bentuk ringkas dari setiap disiplin ilmu secara mutqin dan cermat, memahami makna dan syarahnya dengan baik dengan dibimbing oleh guru, barulah kita bisa berpindah kepada rujukan yang pembahasannya lebih luas, dengan menelaah secara kontinyu, memberikan komentar dan catatan pada perkara yang dianggap penting dan berfaidah, atau masalah-masalah yang detail, memberikan jawaban dan solusi dari masalah tersebut. 9. Memilih teman yang baik. Berupaya untuk memilih teman yang baik dalam menuntut ilmu, yang menyibukkan dirinya dengan ilmu dan bukan dunia, dia bisa membantumu untuk mewujudkan mimpimu, menolongmu untuk mengumpulkan faidah-faidah ilmiyah dalam belajar, menyemangatimu ketika engkau futur, meringankan bebanmu, yaitu teman yang bersemangat belajar, memiliki akhlak dan agama yang baik dan senantiasa tidak bosan memberikan nasehat. 10. Beradab di hadapan para guru. Ilmu itu tidak bisa diambil langsung begitu saja dari buku, namun wajib engkau ambil dengan arahan dan pengajaran dari guru yang berkompeten, agar engkau tidak terpeleset dalam kesalahan dan kekeliruan pemahaman, karena anda butuh dengan guru yang membimbing anda, maka wajib bagi anda untuk menjaga adab di hadapannya, dengan demikianlah anda akan sukses dan beruntung dalam belajar, mendapatkan ilmu yang mumpuni dan diberi taufik, muliakan guru anda, hormati dia dan bersikap lemah lembut padanya, demikian contoh yang diberikan oleh para ulama di masa lampau. Beberapa adab menuntut ilmu di atas diambil dari link website berikut Kesimpulan Dari paparan sederhana di atas, kita bisa menyimpulkan bahwa menuntut ilmu agama haruslah didahului dengan mempelajari adab-adabnya. Hal ini sebagaimana arahan dari para ulama yang telah kami kutipkan, karena apalah arti seseorang memiliki ilmu yang banyak namun kurang atau tidak memiliki adab. Tentu hasilnya tidak menjadi sesuatu yang baik. Semoga Allah memberikan taufik pada kita semua. Disusun oleh Ustadz Setiawan Tugiyono, حفظه الله Selasa, 27 Syawwal 1442 H/ 8 Juni 2021 M Ustadz Setiawan Tugiyono, حفظه الله Beliau adalah Alumnus S1 Lembaga Ilmu Pengetahuan Islam dan Arab LIPIA Jakarta dan S2 Hukum Islam di Universitas Muhammadiyah Surakarta Untuk melihat artikel lengkap dari Ustadz Setiawan Tugiyono, حفظه الله klik disini
Antaraadab yang perlu diberikan perhatian oleh para ilmuwan juga ada diungkapkan oleh Imam al-Shibli rahima-hu Allah yang pernah menyatakan bahawa: Sesiapa yang menyampaikan sesuatu ilmu sebelum tiba masanya (iaitu sebelum dia memiliki kewibawaan untuk menyampaikan ilmu tersebut), maka dia telah mengundang penghinaan ke
Gambar Poster Dakwah yang diikutsertakan dalam Kompetisi Islamic Poster Competition Eksis FE Unnes. Adab Menuntut Ilmu adalah Iman sebelum adab, adab sebelum ilmu, dan ilmu sebelum amal. Maksud dari iman sebelum adab, yaitu kita HARUS paham sejatinya manusia di bumi ini diciptakan sebagai apa? Tentunya jika mengaku sebagai makhluk Allah yang diberikan banyak kelebihan, kita wajib tahu pula bahwa Allah menciptakan jin dan manusia tidak lain untuk beribadah kepada-Nya. Dari konsep itulah kemudian kita akan tahu mengenai adab berhubungan dengan Allah, adab serta berhubungan dengan manusia sebagai sarana beribadah secara horizontal. Adab sebelum ilmu berarti bahwa diri manusia HARUS memiliki akhlak yang baik sebelum menerima ilmu. Misalnya, seorang tahfidz al-Qur’an harus memiliki akhlak mulia. Jika tidak, bisa jadi ia akan menggunakan kelebihannya itu untuk menyombongkan diri. Kemudian, ilmu sebelum amal. Sebelum mengamalkan suatu hal, kita WAJIB hukumnya menguasai ilmunya terlebih dahulu. Karena kita harus mengerti apakah amalan atau perbuatan yang hendak kita lakukan sesuai dengan hukum-Nya atau tidak. Terkadang, seseorang memiliki semangat yang luar biasa, namun masih minim ilmunya. Tetapi karena semangatnya yang membara, ia tetap bergerak padahal sebenarnya salah karena ketidaktahuannya. Akan sangat berbahaya jika seseorang bersemangat berjihad, namun ia belum memperoleh ilmu agama secara mendalam. Suatu saat ketika melihat suatu kelompok melakukan tindakan yang menyimpang atas nama agama, bisa jadi ia begitu saja percaya dan mengikuti perbuatan salah tersebut. Oleh karenanya, ketiga adab menuntut ilmu WAJIB kita pahami dan kita lakukan secara berurutan. Tidak cukup menuntut ilmu hanya berpegang pada semangat. Menuntut ilmu pun ada aturannya, agar niat baik yang kita tanam tidak menjadi sebuah kesia-siaan. Supaya pencapaian dapat diraih setinggi mungkin, serta kelak dapat kita petik seindah yang telah kita tanam. Kesuksesan itu tidak dapat diukur dengan harta yang bergelimpangan maupun tahta yang setinggi angkasa. Allah MahaTahu segalanya. Suksesnya diri kita, hanya Dia YangAgung yang dapat menilainya. Wallahu a’lam bishawab.
Simakbacaan doa sebelum dan sesudah belajar dalam tulisan Arab, Latin dan artinya, bacalah doa agar dipermudah dalam mencari ilmu yang bermanfaat. -
Islam mengajarkan, proses belajar tidak hanya menghasilkan insan yang berilmu, tetapi juga berakhlak karimah. Artinya, dalam mencari ilmu, adab harus selalu dipegang teguh dan diamalkan. Menurut Ustaz Mus’tain Nasoha, pentingnya adab berada pada tataran yang mendahului berilmu. Dai muda asal Solo, Jawa Tengah, itu menerangkan, adab dapat dimaknai sebagai kesopanan, sopan santun, atau tata krama yang selaras dengan ajaran Islam. Adab juga berarti kepatutan dalam urusan-urusan agama dan duniawi. Orang yang berkomitmen menjaga adab akan memahami hakikat berilmu. Lelaki yang akrab disapa Gus Musta’in itu memberikan beberapa contoh adab, yakni kesabaran. Menukil Imam Syafii, barangsiapa yang tidak bersabar saat menuntut ilmu, maka hidupnya akan sengsara hingga akhir hayat. Sebaliknya, bersabar dalam mencari ilmu, akan berujung pada kemuliaan di dunia dan akhirat. “Pertama, adab yang harus dimiliki seorang pencari ilmu adalah harus sabar dan sabar ini adalah kunci utama,” kata mubaligh yang lahir di Gerobogan, Jawa Tengah, pada 1992 silam itu. Bagaimana kiat-kiat menjadi seorang pembelajar yang baik sehingga terus konsisten dalam beradab? Seperti apa contoh teladan dari kaum ulama terdahulu mengenai pentingnya adab? Untuk menjawabnya, berikut petikan wawancara wartawan Republika, Muhyiddin, dengan Direktur Pusat Studi Konstitusi dan Hukum Islam IAIN Surakarta itu. Perbincangan berlangsung baru-baru ini melalui sambungan telepon. Bagaimana Islam memandang kedudukan pencari ilmu? Mencari ilmu, menurut ajaran Islam, itu hukumnya wajib. Dalam sebuah hadis, Rasulullah SAW bersabda, “Siapa yang menempuh jalan untuk mencari ilmu, maka Allah akan mudahkan baginya jalan menuju surga.” Kanjeng Nabi SAW juga mengingatkan, untuk menilai apakah seseorang baik atau tidak, lihatlah seperti apa semangatnya dalam belajar. Bila dia semangat, misalnya, datang ke majelis taklim, pada hakikatnya ia telah diangkat derajatnya oleh Allah SWT. Beliau juga menyatakan, “Thalabul ilmi faridhatun ala kulli muslimin wal muslimah.” Di hadis sahih itu, kalimat yang digunakan ialah faridhatun, bukan faridhun. Huruf ta dalam faridhatun itu adalah ta mubalaghah, yang bermakna sangat'. Itu menunjukkan, mencari ilmu sangat wajib. Kanjeng Nabi SAW jarang-jarang menegaskan seperti itu. Namun, dalam bab ilmu beliau menyatakan sangat wajib. Imam Ahmad bin Ruslan dalam kitab Zubad berkata, berislam itu tak akan benar kecuali dengan ilmu. Kalau orang berislam dan enggan belajar, semua ibadahnya dilakukan tanpa dasar ilmu. Maka amalannya ditolak Allah. Apa saja yang perlu diperhatikan dalam memilih guru? Syekh Zarnuji dalam Ta’lim Muta’allim telah menulis tentang hal-hal yang harus disiapkan ketika mencari guru. Pertama, seseorang harus duduk di depan guru terlebih dahulu untuk melihat, apakah cocok dengan guru tersebut atau tidak. Jadi, tidak langsung berguru. Kalau kita melihat para ulama zaman silam, mereka duduk-duduk dahulu di majelisnya seorang ulama untuk memastikan kecocokannya. Guru yang cocok itu harus sesuai dengan ilmu yang hendak dicari. Misalnya, kita mau belajar ilmu fikih, maka belajar ke ulama yang ahli fikih. Carilah guru karena ilmunya. Kemudian, sanad ilmu sang guru juga harus jelas. Kalau bisa, carilah guru yang nasabnya bagus. Karena, nasab yang bagus akan menjadi salah satu sebab ilmu kita diberkahi Allah. Kedua, jangan mencari guru karena gelarnya. Carilah guru karena ilmunya. Kemudian, sanad ilmu sang guru juga harus jelas. Kalau bisa, carilah guru yang nasabnya bagus. Karena, nasab yang bagus akan menjadi salah satu sebab ilmu kita diberkahi Allah. Terakhir, carilah guru yang berakhlak baik. Ini sebagaimana dikatakan Hammad bin Abi Sulaiman dalam kitab Ta’lim Muta’allim. Makanya, dalam kitab Hasyiyah Bajuri juga, orang bisa dipanggil “syekh” itu tiga syaratnya berilmu tinggi, berakhlak mulia, dan memiliki pengikut yang baik atau banyak. Mengapa sanad keilmuan itu penting? Dikatakan oleh Imam Abdullah bin Mubarak, bersanad itu salah satu daripada syarat beragama. Barangsiapa yang tidak bersanad dalam beragama, ia akan berbicara sesuai dengan hawa nafsunya sendiri. Makanya, Kanjeng Nabi mengingatkan, barangsiapa yang membaca Alquran, hadis, atau hukum Islam sesuai dengan otaknya sendiri, tanpa disertai ilmu tafsir atau ilmu hadis, maka tempatnya di neraka. Bahkan, Imam Malik bin Anas pernah mengatakan dari Imam Ibnu Sirin, ilmu adalah bagian agama. Kalau orang beragama dan tidak berilmu, maka agamanya tidak sah. Karena itulah, siapapun harus memperhatikan dari mana ilmu itu diperolehnya. Syekh Sufyan ats-Tsauri mengatakan, sanad ibarat pedang atau senjata bagi orang beriman. Kalau Mukmin tidak memiliki senjata, bagaimana bisa memenangkan jihad? Artinya, kalau tidak memiliki sanad, bagaimana dia bisa benar dalam berislam? Maka, tidak hanya harus menuntut ilmu dan berguru. Gurunya pun mesti bersanad sampai Nabi Muhammad SAW. Kalau tidak demikian, seseorang akan cenderung radikal nanti dalam memahami agama -Red. Bagaimana pentingnya adab seorang pembelajar, khususnya terhadap guru? Tentu, adab menjadi penting. Pertama-tama, pencari ilmu memiliki adab, yakni sabar. Kesabaran memang kunci utama. Imam Syafii mengatakan, barangsiapa yang tidak bersabar saat menuntut ilmu, maka hidupnya akan sengsara hingga akhir hayat. Barangsiapa bersabar dalam mencari ilmu, ia akan mendapatkan kemuliaan di dunia dan akhirat. Adab yang kedua, seorang murid harus selalu bersangka baik kepada gurunya. Dikatakan oleh Habib Alwi bin Ali al-Habsyi, barangsiapa orang yang tidak beriktikad, tidak meyakini gurunya baik, maka ia tidak akan mendapatkan kemuliaan dari ilmu yang telah diperolehnya. Ketiga, seorang pencari ilmu harus menyadari, dirinya akan menjadi calon penerus para nabi. Sebab, ulama adalah pewaris para nabi. Maka, hendaknya ia senantiasa menjaga adab, seperti ketika berbicara atau makan. Beradabnya seperti adab Rasulullah SAW. Seorang ahli ilmu harus berusaha terdepan dalam mengikuti akhlak Nabi Muhammad SAW. Lalu, adab berikutnya ialah menghormati gurunya. Penghormatan juga kepada keluarga gurunya, kitab-kitab karya gurunya, serta orang-orang yang lebih tua. Wujudnya bisa beragam. Misal, tidak berjalan di depan gurunya. Berjalan depan guru bisa menjadi salah satu sebab ilmu kurang berkah. Di samping itu, jangan mendahului guru dalam berbicara. Seperti apa keteladanan dari generasi salaf tentang adab sebelum ilmu? Para ulama salaf tidak pernah menyia-nyiakan waktunya. Rutinitasnya selalu bersama dengan ilmu. Misalnya, Imam Syafii. Dirinya paling tidak senang kalau pergi ke tukang cukur. Daripada mencukur rambutnya, katanya, lebih baik mencari ilmu. Kalaupun jadi ke tukang cukur rambut, itu dilakukannya cepat-cepat karena ingin segera lanjut belajar. Bahkan, dalam satu kitab dikatakan, Imam Syafii pernah agak diprotes oleh tukang cukurnya. Kata tukang cukurnya, “Wahai imam, tolong berhenti sebentar. Karena, kalau tidak berhenti, mulut Anda akan terpotong.” Namun, Imam Syafii mengatakan, “Lebih baik lidahku terpotong daripada aku harus satu detik berhenti muraja’ah Alquran.” Contoh lainnya ialah, bapaknya Imam Ibnu Taimiyah. Ia juga pernah menjual barang-barang miliknya hanya untuk membayar seseorang duduk di depan kamar mandinya. Sebab, setiap bapaknya ini masuk ke dalam kamar mandi, ia ingin dari dalam kamar mandi pun tetap mendengarkan ilmu. Jadi, begitu semangatnya para ulama zaman dahulu dalam mencari ilmu. Keteladanan juga tecermin dalam konsistensi mereka yang sangat berhati-hati dalam makan dan minum. Artinya, menerima rezeki hanya dari jalan yang halal serta mengonsumsi yang halal pula. Makanya, para kiai kita juga sangat berhati-hati. Termasuk para pendiri Pondok Pesantren al-Muayyad Solo, Jawa Tengah. Bahkan, pasir yang dibawa ke pondok itu disucikan terlebih dahulu untuk menjaga dari najis. Makanan yang disuguhkan kepada para tukang juga terjamin benar-benar halal. Jangan sampai tercampur dengan perkara-perkara yang haram. Sebab, mengonsumsi yang haram akan menyulitkan diri kita untuk menyerap ilmu-ilmu agama. Apa saja kiat agar para pembelajar bisa konsisten dalam semangat menuntut ilmu? Pertama-tama, pahami hakikat kita sebagai manusia. Dalam bahasa Arab, manusia disebut al-insan. Asal katanya, anisa-ya'nisu dan anasa-ya'nusu. Artinya, makhluk yang selalu rahmah, selalu disiplin. Lalu, tiap manusia diperintahkan untuk beriman, mengikuti petunjuk Nabi Muhammad SAW. Mengapa nama beliau Muhammad? Muhammad itu artinya ialah orang yang banyak pujian. Dipuji karena banyak ilmunya di dunia dan akhirat. Makanya, kita sebagai pengikuti Rasulullah SAW memang harus berilmu. Dalam kitab Ihya Ulum ad-Din juga dijelaskan, suatu kali Rasulullah SAW pernah masuk ke masjid. Lantas, beliau melihat ada majelis zikir dan majelis ilmu. Beliau ternyata memilih majelis ilmu. Tidak boleh kita belajar ilmu karena takut dengan neraka. Tidak boleh juga kita belajar karena terlalu butuh surga. Harus tahu diri. Tujuan kita belajar ilmu adalah tetap harus untuk mencari ridha Allah. Puncak ilmu ialah timbulnya rasa takut kepada Allah. Benarkah demikian? Ciri-ciri orang yang benar-benar berilmu itu adalah takut kepada Allah. Takut di sini bukan berarti takut akan siksa neraka. Bukan pula karena kita butuh surga. Yang terpenting adalah senantiasa takut untuk tidak memanfaatkan hidup dalam rangka beribadah kepada Allah, dalam upaya meraih ridha-Nya. Karena ibadah harus dengan ilmu, maka takut pula bahwa waktu terlewatkan tanpa bersama dengan belajar atau menuntut ilmu. Tidak boleh kita belajar ilmu karena takut dengan neraka. Tidak boleh juga kita belajar karena terlalu butuh surga. Harus tahu diri. Tujuan kita belajar ilmu adalah tetap harus untuk mencari ridha Allah. Kesan dari Negeri Para Habib “Tuntutlah ilmu hingga ke Negeri Cina.” Perkataan itu tidak bersumber dari hadis. Namun, ada pesan yang cukup dalam dari ungkapan tersebut, yakni perlunya memperluas rihlah keilmuan. Pengembaraan intelektual juga dilakukan Ustaz Musta’in Nasoha. Direktur Pusat Studi Konstitusi dan Hukum Islam IAIN Surakarta itu tidak hanya menuntut ilmu di dalam, tetapi juga luar negeri. Salah satu negara tempatnya belajar ialah Yaman. Di sana, terdapat salah satu pusat keunggulan yang sangat terkenal di dunia Islam, yaitu Tarim, Hadramaut. Bahkan, daerah tersebut menyandang julukan Negeri Para Habib. Sebab, ada banyak alim ulama yang berasal dari kawasan Yaman tersebut. Sebagian besar di antaranya juga memiliki nasab sampai pada Rasulullah SAW. Di kota para habib itu, pengasuh Majelis Raudlatul Muhibbin Solo tersebut menempuh studi di Fakultas Syariat Universitas Imam asy-Syafi’i. “Banyak ulama di sana kami ambil kitabnya dan sanadnya. Hampir semua kitab besar kami kaji secara talaqi atau langsung,” ujar dai yang akrab disapa Gus Musta’in itu kepada Republika beberapa waktu lalu. Ada kesan yang sulit terlupakan tentang Hadramaut. Menurutnya, kehidupan umat Islam di sana tak lepas dari menuntut ilmu-ilmu agama. Semua orang cenderung sibuk belajar. Suasananya juga sangat harmonis. Sukar menemukan orang yang saling bermusuhan. Penduduk Tarim masyhur akan kelembutan hati, gemar bersedekah terutama kepada para pencari ilmu. “Saya tidak melihat orang di sana itu hidupnya tidak ada manfaatnya. Semua waktu yang ada dimanfaatkan mereka. Hampir semua orang di sana itu berusaha mengamalkan akhlaknya Nabi Muhammad SAW,” katanya. Hampir semua orang di sana itu berusaha mengamalkan akhlaknya Nabi Muhammad SAW. Keistimewaan Yaman, lanjutnya, bahkan disebut oleh Rasulullah SAW. Dalam sebuah hadis sahih, beliau menerangkan, siapapun yang hendak mencari ilmu-ilmu agama, hendaklah mengadakan perjalanan ke negeri di selatan Jazirah Arab itu. “Kita tidak melihat orang di jalan kecuali membawa kitab. Kita tidak melihat orang pandai besi kecuali dari mulutnya selalu mengalir bacaan-bacaan Alquran,” kenang Ketua Lembaga Bahtsul Masail Nahdlatul Ulama LBM NU Surakarta itu. Sebelum merantau ke Hadramaut, alumnus S-2 Universitas Islam Kediri itu telah belajar di sejumlah pondok pesantren. Mula-mula, Gus Musta’in menimba ilmu di Pondok Pesantren Miftahul Huda Ki Ageng Tarub. Lembaga yang berlokasi di Kabupaten Grobogan, Jawa Tengah, itu diasuh oleh yayasan yang didirikan keluarganya. Pesantren al-Faqih Grobogan dan Pesantren al-Muayyad Mangkuyudan Surakarta juga menjadi tempatnya menuntut ilmu.
TranslatePDF. FILSAFAT PENDIDIKAN SEBELUM ABAD 20 (Citra Chairani Amalia, Dela Suliarti, Eka Dwi Anggraini) Mata Kuliah Filsafat Pendidikan Dr.Muhammad Kristiawan,M.Pd Universitas Bengkulu citrachairani2@ Bagaimana Latar Belakang Munculnya Filsafat ? Pada dasarnya pemikiran filsafat adalah pengetahuan, hal ini mengenai pengetahuan
Adab sebelum ilmuilmu sebelum amalSebuah ungkapan yang sering didengar. Tapi kadang sesuatu yang sering didengar malah sering terabaikan yang sering tercampur dengan kalimat “ah iya, udah tau. udah paham lah”Tapi para ulama’ terdahulu sangat menomorsatukan adab dalam hal menuntut ilmu. Yusuf bin Al Husain berkata, “Dengan mempelajari adab, maka engkau jadi mudah memahami ilmu.” Adab pun bisa menjadi penentu berkah atau tidaknya sebuah ilmu. Pernah suatu ketika, dalam sebuah kisah, seorang anak belajar pada seorang guru. Setibanya di rumah, orang tuanya mencaci guru anaknya tersebut. Kurang ini lah, kurang itu lah. Namun tanpa disadari dengan celaan dari orang tuanya tersebut, ilmu yang disampaikan oleh guru tadi tidak dapat dengan sempurna diterima oleh anaknya dikarenakan terhalang oleh celaan tersebut menggambarkan betapa pentingnya mengutamakan adab dalam konteks menuntut ilmu. Ilmu yang disampaikan dapat terhalang karena celaan orang tua, bukan oleh murid itu sendiri. Lalu bagaimana jadinya jika celaan tersebut datang langsung dari murid? Naudzubillah min bagaimana jika kita mendapati seorang dosen yang maaf kurang jelas dalam menyampaikan, sudah lanjut usia, dan lain-lain yang mudah membuat mulut berbicara yang tidak baik. Ternyata jika kita lihat ulama’ terdahulu ketika hendak menuntut ilmu, mereka memerhatikan siapa guru yang akan didatangi terlebih dahulu. Bagaimana amalan wajib dan sunnah kesehariannya, kebiasaan sehari-harinya, dan tentu adabnya. Jadi guru yang dipilih adalah yang paling sedikit bagaimana adab seorang penuntut ilmu sebaiknya? Maka yang patut menjadi teladan terbaik adalah Rasulullah saw. Menuntut ilmu merupakan kewajiban bagi setiap muslim. Pun kita hidup sampai mati adalah seorang penuntut ilmu. Menuntut ilmu bukan melulu tentang duduk di kelas, mendengarkan guru berbicara, dan orang merupakan guru dan murid bagi setiap orang yang lain. Dalam bersosial media pun kita juga sebagai penuntut ilmu. Maka, di permulaan kali ini saya memohon keberkahan dalam rangka menuntut ilmu, mohon ingatkan apabila berada di jalan yang jauh dari yang Allahu alam bish shawab.
KarenaILMU itu adalah prasyarat untuk sebuah AMAL, maka ADAB adalah hal yang paling didahulukan sebelum ILMU ADAB adalah pembuka pintu ilmu bagi yang ingin mencarinya Adab menuntut ilmu adalah tata krama (etika) yang dipegang oleh para penuntut ilmu, sehingga terjadi pola harmonis baik secara vertikal, antara dirinya sendiri
Lokasi halaman Beranda adab Pelajarilah adab sebelum mempelajari suatu ilmu By at 1/04/2021 Dari gambar ini kita belajar bahwa adab lebih penting daripada ketahui, bahwa perbedaan manusia dengan binatang adalah akal atau ilmu. Tetapi tingkatan yang lebih tinggi dari ilmu yakni adab atau akhlak. Karena seberapapun banyaknya ilmu tanpa disertai adab yang baik akan bisa menjadikan manusia pun berperilaku seperti binatangre keserakahan, tamak, kejam dan perilaku tercela lainnyaImam Malik rahimahullah pernah berkata pada seorang pemuda Quraisy, “Pelajarilah adab sebelum mempelajari suatu ilmu.”Kenapa para ulama mendahulukan mempelajari adab?Sebagaimana Yusuf bin Al Husain berkata, “Dengan mempelajari adab, maka engkau jadi mudah memahami ilmu.”Sebegitu pentingkah mempelajari adab, baru ilmu kemudian???Nah, misalnya di kehidupan nyata pun mungkin dari kita pernahkah menjumpai seorang yang sangat pintar, tapi sombong. Cerdas, tapi tak berperilaku baik. Pandai, tapi adab terhadap orangtua/gurunya kita pun memandang tidak baik orang seperti itu, karena budi pekertinya yang tidak sinkron dengan mengapa adab diutamakan untuk dipelajari terlebih adab itu?Al adab artinya menerapkan segala yang dipuji oleh orang, baik berupa perkataan maupun perbuatan. Sebagian ulama juga mendefinisikan, adab adalah menerapkan “akhlak-akhlak yang mulia”Urgensinya kita harus memiliki adab atau akhlaq yang baik sebelum berilmu. Yakni,Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabdaأكملُ المؤمنين إيمانًا أحسنُهم خُلقًا“Kaum Mu’minin yang paling sempurna imannya adalah yang paling baik akhlaknya” HR. Tirmidzi no. 1162, ia berkata “hasan shahih”.Jelas dikatakan, sebaik-baik manusia yang paling baik akhlaqnya. Oleh karenanya, mau jadi sebaik-baik manusia?Yaitu dengan memperbaiki akhlaqnya.. Baca Juga Info Penting langganan artikel menerima tulisan, informasi dan berita untuk di posting menerima kritik dan saran, WhatsApp ke +62 0895-0283-8327
Imansebelum adab; Adab sebelum ilmu; Ilmu sebelum amal; Adab-adab guru terhadap murid dan adab-adab murid terhadap guru (Ringkasan kitab At-Tibyan Fi Adabi Hamalati al-Qur’an bab 4) Hal pertama yang seharusnya dilakukan oleh seorang guru dan murid adalah mengajar dan belajar dengan tujuan mengharapkan ridho dari Allah SWT.
JAKARTA - Pada masa generasi Thabi'in, ada seorang ulama cendekiawan yang sangat luas dan mendalam keilmuannya. Sampai-sampai oleh para ulama lainnya digelari "Rabi'atur Ra'yi" Logika musim semi. Gelar untuk menggambarkan betapa jenius ulama ini. Praktis, Rabi'atur Ra'yi menjadi tujuan uatama para penuntut ilmu untuk belajar. Tidak terkecuali Malik bin Anas. Seorang remaja yang kelak akan dikenal sebagai Imam Malik Rahimahullah, peletak dasar Madzhab Maliki. Ada momen terpenting, menurut saya, yang perlu kita underline, ketika Malik bin Anas akan belajar kepada Rabi'atur Ra'yi, yaitu nasehat sang Bunda. "Nak, camkan pesan ibu, pelajarilah olehmu adab Rabi'atur Ra'yi sebelum kau pelajari ilmunya." Sebuah pesan singkat, namun sangat mendalam maknanya. Sejatinya, ada pesan lain yang tersirat dari pesan Bundanya Malik bin Anas, yaitu "Nak, jika kau tak temui adab pada diri Rabi'atur Ra'yi, maka kau tak perlu buang-buang waktu belajar ilmu kepadanya." Mengapa? Sungguh, tak akan bermanfaat ilmu setinggi apapun jika tiada adab di dalamnya. Terlebih bila ilmu setitik nila, plus kehilangan adab. Allah telah menyindir keras para ahli ilmu Rabi Bani Israil yang tiada adab dalam dirinya dengan perumpamaan seekor keledai yang memikul kitab-kitab dipunggungnya QS. 62 5. Keledai tentulah tiada paham untuk apa kitab-kitab yang dipikulnya itu. Demikianlah, Allah menyindir keras para ahli ilmu yang berjilid-jilid kitab dalam kepalanya, namun tiada adab tertanam dalam diri dan lisannya. Sia-sia ilmunya. Bahkan, malah menyeretnya pada jika para ulama sepakat, "Kada al-adab qabla al-'ilm" Posisi adab itu sebelum ilmu. Syaikh Ibnu Mubarak, seorang ulama yang sangat shalih, berkata, "Thalabtul adab tsalatsuna sanah wa thalabtul 'ilm 'isyrina sanah" Aku belajar adab 30 tahun lamanya, sedang aku belajar ilmu hanya 20 tahun lamanya. Jernih sekali nasehat Imam Asy-Syafi'i kepada Imam Abu Abdish Shamad, gurunya anak-anak Khalifah Harun Al-Rasyid, "Ketahuilah, yang pertama kali harus kamu lakukan dalam mendidik anak-anak khalifah adalah memperbaiki dirimu sendiri. Karena, sejatinya paradigma mereka terikat oleh paradigma dirimu. Apa yang mereka pandang baik, adalah apa-apa yang kau lakukan. Dan, apa yang mereka pandang buruk, adalah apa-apa yang kau tinggalkan." Maka, sudahkah konsep adab sebelum ilmu diterapkan di sekolah-sekolah kita? Sudahkah kita belajar adab sebelum ilmu? Dan, sudahkah kita belajar ilmu kepada guru yang memiliki adab mulia? Oleh Muhammad Syafi'ie el-Bantanie, Direktur Dompet Dhuafa Pendidikan, Founder Sahabat Remaja Indonesia BACA JUGA Update Berita-Berita Politik Perspektif Klik di Sini
- Ымևжо ոγοдрωскու ци
- Иτаτ зեци
- ማеጄօниզθծ ևφе խձевсоц
- Иξоպи й ሌጅፓфθбիщէ
- Свենንб ձуፈа
- Иջеξեхθγо лещонι ዞ
- ኙ εпէթοլо δ
- ቮошуψусрፔ ефօку щапрօղ
Berikutini adalah beberapa di antaranya: 1. Memprioritaskan belajar adab dibandingkan ilmu. Saat seorang tabiin ingin mempelajari suatu ilmu, maka ia akan lebih mempelajari adabnya terlebih dahulu. Bahkan, sebelum seseorang menuliskan suatu hadits, maka ia akan mempelajari adab dulu, kemudian Ibadah, dan baru menulis hadits.
Nurijal – Mahasiswa Manajemen Pendidikan Islam UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta PLP-KKN Integratif di Kankemenag Kulon Progo Kesungguhan hati dalam menuntut ilmu merupakan suatu pedoman dan prinsip yang selalu di tanamkan pada setiap orang. Menuntut ilmu sendiri merupakan suatu kewajiban dan termasuk hal penting yang tidak bisa dilewatkan bagi setiap orang. Sebab dengan adanya ilmu kita dapat menjadi seseorang yang mulya. Untuk mencapai semua itu tentunya tidak dilakukan dengan semudah membalikkan tangan. Akan tetapi harus dicapai dengan kesungguhan hati yang kuat. Dalam Islam, mencari ilmu hukumnya wajib bagi setiap orang. Untuk mengaplikasikan kewajiban tersebut dapat dicapai dengan kegigihan yang kuat. Hal ini sesuai dengan dhawuh Baginda Nabi Muhammad SAW قال رسول الله صلى الله عليه وسلم طلب العلم فريضة على كل مسلم ومسلمة “Menuntut ilmu wajib bagi muslim laki-laki dan muslim perempuan”. اطلبواالعلم ولو بالصين “Tuntutlah ilmu, walau sampai ke negeri China.” Sekarang ini banyak sekali orang pintar dan meliliki keilmuan yang luas. Tetapi ternyata dengan keilmuanya yang luas tersebut kurang tepat dalam pengaplikasianya justru merasa paling bangga seolah-olah dialah yang paling benar dan merasa paling pintar dibanding yang lain. Maka dari itu, adab dan etika perlu diterapkan sebagai penyeimbang ilmu dan kepintaran yang kita miliki. Sebab, kepintaran seseorang tidak akan ada harganya apabila tidak mempunyai adab etika. Ilmu akan menjadi berbahaya bagi dirinya dan orang lain apabila tidak dihiasi dan dibarengi dengan akhlak. Dalam hal ini Muhammad Syafi’i Baidlowi, Pengasuh Ponpes Ma’hadut Tholabah, Babakan, Lebaksiu, Tegal setiap kali mengajar santri-santrinya selalu berpesan tentang pentingnya menjaga adab dan etika, baik di dalam pondok atau saat di rumah. Pepatah arab mengatakan “Al adabu Fauqol ’ilmi” yang artinya adab itu lebih tinggi dari pada ilmu. Kalau hanya mengandalkan ilmu tanpa di barengi adab, iblis lebih bisa. Sebab iblis diberikan keistimewaan oleh Allah lebih pintar dari pada manusia. Imam Malik pun pernah berkata kepada salah seorang pemuda Quraisy tentang pentingnya mendahulukan adab sebelum mempelajari ilmu. تعلم الأدب قبل أن تتعلم العلم “Pelajarilah adab sebelum mempelajari suatu ilmu.” Mempelajari adab dan etika membutuhkan proses waktu yang lama. Faktor terpenting yang mempengaruhi baik burukya perilaku yaitu lingkungan, baik keluarga ataupun masyarakat. Banyak ulama dalam memepelajari adab itu lebih lama ketimbang mempelajari ilmu. Memiliki sedikit adab justru lebih penting dari pada mempunyai banyak illmu. Mengapa demikian, sebab orang yang berilmu tinngi belum tentu beradab. Tetapi orang yang beradab sudah pasti berilmu, karena mampu menempatkan ilmu tersebut sesuai dengan semestinya. Marikah kita mulai menanamkan dan menumbuhkan adab dan etika seperti ketika berjumpa ucapkanlah salam, menghormamati yang lebih tua, bila lewat di depan orang banyak hendaklah permisi. Semakin baik perilaku kita, maka orang lain akan menilai jauh lebih baik. Salah satu ulama besar Al Habib Lutfi pernah mengatakan, bahwa beliau ketika hendak makan saja selalu berpakaian rapi, wangi, dan bersih. Menurut beliau itu salah satu adab terhadap makanan, kepada Allah yang memberikan rezeki. Betapa pentingnya adab sebagai penghias ilmu yang kita miliki. Orang bijak mengatakan “jika engkau ingin dihormati dalam dalam hidupnya, maka belajarlah untuk menghormati orang lain.” Dibaca 15,269
Betapapentingnya pendidikan adab atau akhlak yang perlu orangtua ajarkan kepada anak sejak dini. Serta jadikanlah kedua hal tersebut (ilmu dan adab) sebagai satu kesatuan yang saling berkesinambungan. Semakin besar ilmu yang diajarkan oleh orangtua kepada anak maka seharusnya semakin beasar pula adab yang harus dimiliki oleh sang anak.
Salah satu adab yang diajarkan dalam Islam adalah adab menuntut ilmu. Ya, adab dalam menuntut ilmau sangat diperlukan. Bahkan Imam Malik rahimahullah pernah berkata pada orang Quraisy,تعلم الأدب قبل أن تتعلم العلم“Pelajarilah adab sebelum mempelajari suatu ilmu.”Maka dari itu, sangat penting untuk mempelajari adab terlebih dahulu sebelum menuntut ilmu. Berikut ini adalah adab dalam menuntut ilmu yang perlu diketahui1. Niat karena AllahHal pertama yang harus dipersiapkan sebelum menuntut ilmu adalah membenarkan niat. Niatkan semua ilmu yang akan kamu pelajari hanya karena Allah. Sebagaimana firman Allah dalam Al Bayyinah ayat 5, وَمَا أُمِرُوا إِلَّا لِيَعْبُدُوا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ حُنَفَاءَ وَيُقِيمُوا الصَّلَاةَ وَيُؤْتُوا الزَّكَاةَ ۚ وَذَٰلِكَ دِينُ الْقَيِّمَةِPadahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam menjalankan agama yang lurus, dan supaya mereka mendirikan shalat dan menunaikan zakat; dan yang demikian itulah agama yang lurus. Rasulallah shallallahu alaihi wa sallam juga bersabda, “Barangsiapa yang menuntut ilmu syar’i yang semestinya ia lakukan untuk mencari wajah Allah dengan ikhlas, namun ia tidak melakukannya melainkan untuk mencari keuntungan duniawi, maka ia tidak akan mendapat harumnya aroma surga pada hari kiamat.” HR. Ahmad2. Selalu berdoaDalam menuntut ilmu hendaknya kita selalu berdoa agar diberi kemudahan dalam menyerap ilmu dan Azza wa Jalla berfirmanوَقُلْ رَبِّ زِدْنِي عِلْمًاdan katakanlah ”Ya Rabbku, tambahkanlah kepadaku ilmu pengetahuan”. [Thâhâ/20114]Baca jugaAdab menghadiri pernikahan dalam IslamAdab i’tikaf di bulan RamadhanAdab berkurban dalam IslamAdab cukur rambut bayi dalam IslamAdapun doa yang biasa dipanjatkan oleh Rasul dalam menuntut ilmu adalah,اَللَّهُمَّ انْفًًًًًًََعْنِيْ مَا عَلَّمْتَنِيْ وَعَلِّمْنِيْ مَا يَنْفَعُنِيْ وَزِدْنِيْ عِلْماًYa Allah, berilah manfaat atas apa yang Engkau ajarkan kepadaku, ajarilah aku hal-hal yang bermanfaat bagiku, dan tambahilah aku ilmu [HR. at-Tirmidzi dan Ibnu Mâjah, dishahihkan al-Albâni]3. Selalu bersungguh-sungguhKetika menuntut ilmu hendaknya kita bersungguh-sungguh dan selalu antusias untuk mendapatkan ilmu yang bermanfaat. Seolah-olah tidak pernah kenyang dengan ilmu yang didapatkan, hendaknya kita selalu berkeinginan untuk menambah ilmu shallallahu alaihi wa sallam barsabda, “ Dua orang yang rakus yang tidak pernah kenyang yaitu 1 orang yang rakus terhdap ilmu dan tidak pernah kenyang dengannya dan 2 orang yang rakus terhadap dunia dan tidak pernah kenyang dengannya.” HR. Al-Baihaqi4. Menjauhi maksiatUntuk bisa mendapatkan ilmu yang bermanfaat dan berkah, maka jauhkanlah diri dari berbagai macam maksiat. Maksiat akan membuat otak menjadi sulit untuk berkonsentrasi sehingga ilmu sangat sulit أَبِى هُرَيْرَةَ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- قَالَ إِنَّ الْعَبْدَ إِذَا أَخْطَأَ خَطِيئَةً نُكِتَتْ فِى قَلْبِهِ نُكْتَةٌ سَوْدَاءُ فَإِذَا هُوَ نَزَعَ وَاسْتَغْفَرَ وَتَابَ سُقِلَ قَلْبُهُ وَإِنْ عَادَ زِيدَ فِيهَا حَتَّى تَعْلُوَ قَلْبَهُ وَهُوَ الرَّانُ الَّذِى ذَكَرَ اللَّهُ كَلاَّ بَلْ رَانَ عَلَى قُلُوبِهِمْ مَا كَانُوا يَكْسِبُونَ »Dari Abu Hurairah, dari Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, beliau bersabda, “Seorang hamba apabila melakukan suatu kesalahan, maka dititikkan dalam hatinya sebuah titik hitam. Apabila ia meninggalkannya dan meminta ampun serta bertaubat, hatinya dibersihkan. Apabila ia kembali berbuat maksiat, maka ditambahkan titik hitam tersebut hingga menutupi hatinya. Itulah yang diistilahkan “ar raan” yang Allah sebutkan dalam firman-Nya yang artinya, Sekali-kali tidak demikian, sebenarnya apa yang selalu mereka usahakan itu menutupi hati mereka’.”Baca jugaAdab bercandaAdab cukur rambut bayi dalam IslamAdab memotong rambut dalam IslamAdab menyamnpaikan nasihan dalam IslamAdab puasa Ramadhan5. Selalu rendah hatiBanyak sekali orang berilmu yang justru menjadi sombong hanya karena merasa lebih baik dibandingkan orang lain. Jika ingin mendapatkan ilmu yang baik dan bermanfaat, maka tetaplah menjadi pribadi yang rendah Mujahid mengatakan,لاَ يَتَعَلَّمُ الْعِلْمَ مُسْتَحْىٍ وَلاَ مُسْتَكْبِرٌ“Dua orang yang tidak belajar ilmu orang pemalu dan orang yang sombong” HR. Bukhari secara muallaq6. Memperhatikan penjelasanJika ingin mendapatkan ilmu dengan mudah, maka konsentrasilah ketika guru atau ustadz menjelaskan. Fokuslah untuk menyerap ilmu yang disampaikan. Sebagaimana Allah Ta’ala berfirman,“… sebab itu sampaikanlah berita gembira itu kepada hamba-hambaKu, yaitu mereka yang mendengarkan perkataan lalu mengikuti apa yang paling baik diantaranya. Mereka itulah orang-orang yang diberi petunjuk oleh Allah dan merekalah orang-orang yang mempunyai akal sehat.” QS. Az-Zumar 17-187. Diam menyimakSalah satu adab dalam menuntut ilmu yang banyak ditinggalkan adalah diam ketika guru atau ustadz menjelaskan. Jangan berbicara atau bahkan mengobrol hal yang sama sekali tidak penting bahkan tidak berhubungan dengan pelajaran yang disampaikan. Sebagaimana telah Allah firmankan dalam Al A’raf ayat 204,وَإِذَا قُرِئَ الْقُرْآنُ فَاسْتَمِعُوا لَهُ وَأَنْصِتُوا لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُونَDan apabila dibacakan Al Quran, maka dengarkanlah baik-baik, dan perhatikanlah dengan tenang agar kamu mendapat jugaFungsi Iman Kepada Qada dan QadarManfaat Membaca Buku Menurut IslamNasib Al Qur’an di Hari KiamatMengenang Wafatnya Pedang Allah Khalid bin WalidHukum Membatalkan Perjanjian Dalam Islam8. MenghafalSetelah berhasil memahami ilmu yang disampaikan, maka hendaknya hafal lah ilmu tersebut agar lebih mudah diingat. Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,“Semoga Allah memberikan cahaya kepada wajah orang yang mendengar perkataanku, kemudian ia memahaminya, menghafalkannya, dan menyampaikannya. Banyak orang yang membawa fiqih kepada orang yang lebih faham daripadanya…” HR. At-Tirmidzi.9. MengamalkanAkan percuma setiap ilmu yang didapatkan jika tidak diamalkan. Sudah seharusnya kita mengamalkanilmu yang kita dapatkan agar mendapatkan keberkahan dari Allah shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Perumpamaan seorang alim yang mengajarkan kebaikan kepada manusia, kemudian ia melupakan dirinya tidak mengamalkan ilmunya adalah seperti lampu lilin yang menerangi manusia, namun membakar dirinya sendiri.” HR Ath-Thabrani10. MendakwahkanTidak ada ilmu yang bermanfaat jika tidak dibagikan kepada orang lain. Maka sebarkanlah ilmu tersebut kepada mereka yang belum mengetahuinya. Allah Ta’ala berfirman, “Wahai orang-orang yang beriman! Peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar dan keras, yang tidak durhaka kepada Allah terhadap apa yang Dia perintahkan kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.” QS. At-Tahriim 6.Itulah 10 adab menuntut ilmu yang perlu diketahui. Semoga setiap ilmu yang kita dapatkan bermanfaat dan menjadi berkah bagi diri kita sendiri maupun orang lain. Aamiin.
Pengertian Keutamaan dan Tujuan Menuntut Ilmu. Pengertian Ilmu – Di jaman sekarang, begitu banyak kaum muslimin yang seolah-olah tidak tertarik dengan surga. Hal ini karena banyak dari mereka lebih mengikuti hawa nafsu dan mengingkari perintah-perintah yang telah ditetapkan oleh Allah SWT, sehingga mengorbankan surga yang penuh dengan
Karena tanpa adab, ilmu yang dikumpulkan hanyalah tumpukan pengetahuan, tidak mencerminkan keindahan dan kelezatan. Oleh KH Hafidz Abdurrahman Khadim Ma’had Syaraful Haramain Pentingnya Adab — Ibn Hajar al-Asqalani w. 852 H rahimahu–Llah, menyatakan, bahwa belajar adab itu artinya mengambil akhlak yang mulia [Lihat, Ibn Hajar, Fath al-Bari, Juz X/400]. Begitu pentingnya belajar adab itu, sampai Sufyan at-Tsauri w. 161 H mengatakan, “Ketika seseorang ingin menulis hadits, maka dia terlebih dulu belajar adab, dan ibadah, dua puluh tahun, sebelumnya menulis hadits.” [Abu Nu’aim, Hilyatu al-Auliya’, Juz VI/361] Hal yang hampir senada juga disampaikan oleh Ibn Mubarak. Beliau menyatakan قَالَ لِيْ مَخْلَدُ بْنِ الْحُسَيْنِ نَحْنُ إِلَى كَثِيْرٍ مِنَ الأَدَبِ أَحْوَجُ مِنَّا إِلَى كَثِيْرٍ مِنَ الْحَدِيْثِ “Makhlad bin al-Husain berkata kepadaku, “Kami lebih membutuhkan banyak adab, ketimbang kebutuhan kami akan banyak hadits.” [al-Khathib al-Baghdadi, al-Jami’ li Akhlaq ar-Rawi, Juz I/80] Bahkan, dalam kitab yang sama, Ibn Mubarak w. 181 H, menyatakan مَنْ تَهَاوَنَ بِالأَدَبِ عُوْقِبَ بِحِرْمَانِ السُّنَنِ، وَمَنْ تَهَاوَنَ باِلسُّنَنِ عُوْقِبَ بِحِرْمَانِ الْفَرَائِضِ، وَمَنْ تَهَاوَنَ بِالْفَرَائِضِ عُوْقِبَ بِحِرْمَانِ المَعْرِفَةِ “Siapa saja yang meremehkan adab, maka dia akan disiksa dengan kekurangan akan [amalan] sunah. Siapa saja yang meremehkan amalan sunah, maka dia akan disiksa dengan kekurangan akan [amalan] fardhu. Siapa saja yang meremehkan amalah fardhu, maka dia akan disiksa dengan kekurangan akan makrifat.” [al-Khathib al-Baghdadi, al-Jami’ li Akhlaq ar-Rawi, Juz I/80] Menunjukkan begitu pentingnya adab, sebelum ilmu. Karena tanpa adab, ilmu yang dikumpulkan hanyalah tumpukan pengetahuan, tidak mencerminkan keindahan dan kelezatan. Apa Sesungguhnya Adab? Ibn al-Qayyim al-Jauziyyah w. 751 H menyatakan عِلْمُ الأَدَبِ هُوَ عِلْمُ إِصْلاَحِ اللِّسَانِ وَالْخِطَابِ، وَإِصَابَةِ مَوَاقِعِهِ، وَتَحْسِيْنِ أَلْفَاظِهِ، وَصِيَانَتِهِ عَنِ الْخَطَأِ وَالْخَلَلِ “Ilmu adab adalah ilmu untuk memperbaiki lisan [tutur kata], seruan, ketepatan dalam menempatkan pada posisinya, pemilihan kata yang baik dan tepat, serta menjaganya dari kesalahan dan cacat.” [Ibn al-Qayyim al-Jauziyyah, Madzariju as-Salikin, Juz II/368] Menurut Syaikh Shalah Najib ad-Daqq, adab itu ada dua Pertama, adab alami [tabhî’i], yaitu adab yang Allah ciptakan pada diri manusia, dengan ciri dan karakteristik itu. Kedua, adab hasil belajar [iktisâbi], yaitu adab yang diperoleh oleh seseorang karena belajar dari orang yang memiliki ilmu dan kemuliaan. Diriwayatkan oleh Abu Dawud dari Zari’, yang ketika itu menyertai delegasi Abdu al-Qais, beliau menyatakan أن النبيَّ صلى الله عليه وسلم قال للمنذر الأشج إن فيك خَلَّتين يحبهما الله؛ الحِلْم، والأَنَاة، قال يا رسول الله، أنا أتخلَّق بهما أمِ اللهُ جبَلني خلقني عليهما؟ قال بلِ اللهُ جبَلك عليهما، قال الحمد لله الذي جبلني على خَلَّتين يحبُّهما الله ورسوله؛ “Nabi sha-Llahu alaihi wa Sallama bersabda kepada al-Mundzir al-Asyaj, “Sesungguhnya di dalam dirimu ada watak alami yang keduanya dicintai oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala, yaitu sifat “hilm” [kelapangan dada] dan “anât” [kesabaran].” Beliau bertanya, “Ya Rasulullah, apakah aku berakhlak dengan keduanya [karena belajar], atau Allah yang telah menciptakan aku memiliki watak seperti itu?” Baginda sha-Llahu alaihi wa Sallama menjawab, “Bukan [kamu], tetapi Allahlah yang telah menciptakan kamu memiliki watak seperti itu.” Beliau menimpali, “Segala puji hanya milik Allah, Dzat yang telah menciptakan aku dengan dua watak alami yang dicintai oleh Allah dan Rasul-Nya.” [Hr. Abu Dawud, hadits hasan. Lihat, al-Albani, Shahîh Abî Dâwud, hadits no. 4353] Ibn al-Qayyim al-Jauziyyah menuturkan أدب المرء عنوانُ سعادته وفلاحه، وقلة أدبه عنوان شقاوته وبَوَارِه، فما استُجلِب خيرُ الدنيا والآخرة بمثل الأدب، ولا استُجلِب حرمانُهما بمثل قلة الأدب. “Adab seseorang itu adalah alamat kebahagiaan dan keberuntungannya. Sedangkan minimnya adab merupakan alamat kenestapaan dan kerugiaannya. Tidak ada kebaikan di dunia dan akhirat yang diharapkan untuk diperoleh seperti memperoleh adab. Begitu juga, tak ada yang sudi mendapatkan keburukan di dunia dan akhirat sebagaimana minimnya adab.” [Ibn al-Qayyim al-Jauziyyah, Madarij as-Salikin, Juz II/368] Tolok Ukur Adab Sufyan bin Uyainah [w. 198 H], guru Imam as-Syafii [w. 204 H], menyatakan إن رسولَ الله صلى الله عليه وسلم هو الميزان الأكبر؛ فعليه تُعرَض الأشياء، على خُلقه وسيرته وهَديه، فما وافقها فهو الحق، وما خالفها فهو الباطل “Sesungguhnya Rasulullah sha-Llahu alaihi wa Sallama merupakan mizan [neraca/tolok ukur] besar. Kepadanya semua perkara diajukan [dibentangkan untuk diukur], berdasarkan akhlak, perjalanan hidup dan tuntunan baginda. Mana yang sesuai, maka itu merupakan kebenaran. Mana yang menyimpang, maka itu merupakan kebatilan.” [al-Khathib al-Baghdadi, al-Jami’ li Akhlaq ar-Rawi, Juz I/79] Karena itu, Muhammad bin Syihab az-Zuhri [w. 124 H] menyatakan إن هذا العلم أدبُ الله الذي أدَّب به نبيه صلى الله عليه وسلم، وأدَّب النبي صلى الله عليه وسلم أمَّته، أمانة الله إلى رسوله ليؤديه على ما أُدِّي إليه، فمن سمع علمًا فليجعله أمامه حجةً فيما بينه وبين الله عز وجل؛ “Sesungguhnya ilmu ini merupakan adab Allah, yang Dia gunakan untuk mendidik Nabi-Nya, sha-Llahu alaihi wa Sallama, yang juga digunakan oleh Nabi sha-Llahu alaihi wa Sallama, untuk mendidik umatnya. Merupakan amanah Allah kepada Rasul-Nya agar baginda tunaikan sebagaimana yang telah disampaikan kepada baginda. Maka, siapa saja yang mendengarkan ilmu, maka hendaknya dia menjadikan ilmunya itu menjadi hujah di hadapannya, antara dia dengan Allah Azza wa Jalla.” [al-Khathib al-Baghdadi, al-Jami’ li Akhlaq ar-Rawi, Juz I/78] Rasulullah sha-Llahu alaihi wa Sallama itu sendiri merupakan sumber yang luar biasa. Alquran, yang diturunkan kepada kita, yang terkumpul dalam mushaf, mulai dari al-Fatihah hingga an-Nas, itu benar-benar telah dihidupkan oleh baginda Nabi sha-Llahu alaihi wa Sallama sebagai sebuah peradaban selama 23 tahun kehidupan risalah dan nubuwwah baginda sha-Llahu alaihi wa Sallama. Semuanya itu direkam oleh para sahabat. Ada yang kemudian diriwayatkan secara lisan, baik menuturkan ucapan, tindakan maupun diamnya baginda Nabi sha-Llahu alaihi wa Sallama sehingga menjadi hadits. Ada juga yang diriwayatkan dalam bentuk Ijmak Sahabat, karena mereka semuanya tahu seluk-beluk kehidupan baginda sha-Llahu alaihi wa Sallama. Maka, dari kehidupan para sahabat, kita juga bisa menimba adab. Begitu juga dari generasi berikutnya, yang mewarisi peradaban agung dan mulia dari mereka. Wajar, jika konvensi penduduk Madinah, sampai dijadikan oleh Imam Malik sebagai salah satu sumber hukum. Lihatlah, sampai hari ini, penduduk Madinah merupakan penduduk yang paling tinggi akhlaknya. Bagaimana Mereka Belajar Adab? Muhammad bin Sirin [w. 110 H] menceritakan karakteristik Tabiin, “Mereka itu mempelajari tuntunan hidup [adab], sebagaimana mereka mempelajari ilmu.” [al-Khathib al-Baghdadi, al-Jami’ li Akhlaq ar-Rawi, Juz I/79] Imam Malik bin Anas [w. 179 H] pernah menyatakan kepada seorang pemuda Quraisy, “Wahai putra saudaraku, pelajarilah adab, sebelum kamu belajar ilmu.” [Abu Nu’aim, Hilyatu al-Auliya’, Juz VI/330]. Beliau juga menyatakan, “Hak yang menjadi kewajiban bagi siapa yang menuntut ilmu, agar dia memiliki penghormatan, ketenangan, dan rasa takut [kepada Allah]. Hendaknya dia juga mengikuti jejak orang-orang sebelumnya.” [al-Khathib al-Baghdadi, al-Jami’ li Akhlaq ar-Rawi, Juz I/156] Ibn Wahab menyatakan, “Adab Imam Malik yang kami nukil, yaitu apa yang kami pelajari, lebih banyak ketimbang ilmunya.” [ad-Dzahabi, Siyar al-A’lam an-Nubula’, Juz VIII/113] Ad-Dahabi juga menuturkan, bahwa Ismail bin Uliyyah berkata, “Dulu orang berkumpul di Majlis Imam Ahmad ada kira-kira 5000, atau lebih, hingga 500 orang. Mereka menulis. Sisanya, mereka belajar dari beliau mengenai kemuliaan adab dan perilaku.” [ad-Dzahabi, Siyar al-A’lam an-Nubula’, Juz XI/316] Para murid dan pengikut Abdullah bin Mas’ud, sahabat Nabi, pergi dan datang untuk berguru kepada beliau. Mereka melihat bagaimana kemuliaan perilaku beliau, dan tuntunan hidup [yang terkait dengan respek, penghormatan dan ketenangan] beliau. Mereka pun menduplikasikannya, sebagaimana Abdullah bin Mas’ud. [al-Qasim bin Salam, Gahrib al-Hadits, Juz I/384] Begitu juga para murid dan pengikut Ali bin al-Madini [w. 234 H], guru Imam al-Bukhari, sebagaimana diceritakan oleh Abbas al-Anbari, “Mereka menulis tentang berdirinya Ali bin al-Madini [guru Imam al-Bukhari], begitu juga duduknya, pakaiannya, dan apa saja yang beliau sampaikan, dan lakukan. Atau hal-hal seperti itu.” [al-Khathib al-Baghdadi, Tarikh Baghdad, Juz XIII/321] An-Nakha’i [w. 96 H] mengatakan, “Mereka [generasi Salaf], ketika mendatangi seseorang [ulama’] untuk mengambil ilmu darinya, maka mereka akan perhatikan perilakunya, shalat dan keadaannya, baru setelah itu mereka mengambil ilmu darinya.” [al-Khathib al-Baghdadi, al-Jami’ li Akhlaq ar-Rawi, Juz I/28] Beliau juga menuturkan, “Jika kami ingin mengambil ilmu dari seorang guru [Syaikh], maka kami akan menanyakan tentang makanan dan minumam beliau, tentang tempat keluar dan masuknya.” [al-Jurjani, al-Kamil fi Dhu’afa’ ar-Rijal, Juz I/602] Maka, sebagian orang bijak mengatakan, “Adab dalam perbuatan [perilaku] merupakan indikasi diterimanya amal [perbuatan].” [Ibn al-Qayyim al-Jauziyyah, Madarij as-Salikin, Juz II/360] Membersamai Ulama’ Membersamai ulama’ dalam waktu yang lama merupakan cara terbaik untuk mendapatkan adab dan ilmu. Begitulah dahulu para sahabat dan generasi setelahnya belajar adab dan ilmu. Imam al-Bukhari dan Muslim telah meriwayatkan dari al-A’raj, berkata, “Aku pernah mendengar Abu Hurairah berkata إنكم تزعمون أن أبا هريرة يُكثر الحديث عن رسول الله صلى الله عليه وسلم، واللهُ الموعد، كنتُ رجلًا مسكينًا، أخدُمُ رسول الله صلى الله عليه وسلم على مِلْءِ بطني، وكان المهاجرون يَشغَلهم الصَّفْقُ بالأسواق، وكانت الأنصار يَشغَلهم القيام على أموالهم، فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم مَن يبسط ثوبه، فلن ينسى شيئًا سمعه مني، فبسطت ثوبي حتى قضى حديثه، ثم ضممتُه إليَّ، فما نسيت شيئًا سمعته منه؛ “Kalian mengira, bahwa Abu Hurairah itu memiliki banyak hadits dari Rasulullah sha-Llahu alaihi wa Sallama? Allah Dzat Maha Tahu dan Membuat perhitungan [jika aku berbohong]. Aku adalah lelaki miskin. Aku membantu Rasulullah sha-Llahu alaihi wa Sallama dengan batas kemampuanku. Sementara kaum Muhajirin mereka sibuk dengan berdagang di pasar. Kaum Anshar sibuk mengurus harta mereka. Maka, Rasulullah sha-Llahu alaihi wa Sallama bertanya, “Siapa yang bersedia membentangkan bajunya, maka dia tak akan pernah lupa sedikit pun apa yang dia dengarkan dariku.” Maka, akupun membentangkan bajuku, hingga baginda pun menyampaikan haditsnya. Lalu, aku pun menghimpunnya di dalam diriku. Sejak itu, aku tak pernah lupa sedikitpun tentang apa yang aku dengarkan dari baginda sha-Llahu alaihi wa Sallama.” [Hr. Bukhari dan Muslim] Begitulah, kisah tentang Abu Hurairah, yang datang ke Madinah, setelah peristiwa Perang Khaibar, setelah Sulh Hudaibiyah, tahun 6 H. Dengan kata lain, beliau hanya bersama Nabi tidak kurang dari 4 tahun. Tetapi, karena tekadnya membersamai Nabi sha-Llahu alaihi wa Sallama itulah yang membuatnya menguasai banyak hadits, dan karamah, karena doa dari Nabi sha-Llahu alaihi wa Sallama. Imam Abu Hanifah w. 148 H menuturkan, “Aku membersamai Hamad bin Abi Sulaiman selama 12 tahun.” [al-Khathib al-Baghdadi, Tarikh Baghdad, Juz XV/444]. Beliau melanjutkan, “Aku tidaklah shalat, sekali saja, sejak Hamad wafat, kecuali aku memintakan ampunan untuknya dan kedua orang tuaku. Aku juga memintakan ampunan untuk mereka yang aku telah belajar ilmu darinya, atau murid yang aku ajari ilmu.” [al-Khathib al-Baghdadi, Tarikh Baghdad, Juz XV/444]. Kata Imam Malik, “Dulu, ada orang [alim] yang bolak-balik kepada seorang [alim] selama 30 tahun, untuk menimba ilmu darinya.” Beliau juga menceritakan, “Nu’aim al-Mujimar membersamai Abu Hurairah selama 20 tahun.” [ad-Dzahabi, Siyar al-A’lam an-Nubula’, Juz XI/108] Tsabit al-Bunani mengatakan, “Aku telah membersamai Imam Anas bin Malik selama 40 tahun. Aku tidak melihat ada orang yang ahli ibadah melebihi beliau.” [ad-Dzahabi, Siyar al-A’lam an-Nubula’, Juz V/222]. Bagitu juga Nafi’ bin Abdillah menuturkan, “Aku membersamai Malik selama 40 tahun, atau 35 tahun.” [Abu Nu’aim, Hilyatu al-Auliya’, Juz VI/320] Bahkan, kata Ibn Hibban, “Hamid bin Yahya al-Balkhi, termasuk orang yang telah menghabiskan umurnya dengan membersamai Sufyan bin Uyainah.” [Ibn Hibban, at-Tsiqqat, Juz VIII/218] Mereka bertahun-tahun membersamai ulama’, tak hanya belajar adab, ilmu, tetapi juga mengharapkan keberkahan. Di antara keberkahan membersamai ulama’ itu, sebagaimana diceritakan oleh Abdullah bin Abi Musa at-Tasturi, “Ada yang memberi nasihat kepadaku, “Di mana pun kamu berada, dekatlah dengan orang yang faqih.” Maka, aku pun datang ke Beirut, menemui Imam al-Auza’i. Ketika aku sedang bersamanya, tiba-tiba beliau bertanya tentang urusanku, dan aku pun memberitahukannya kepada beliau. Beliau bertanya, “Apakah kamu mempunyai ayah?” Aku jawab, “Iya. Aku meninggalkannya di Irak dalam keadaan Majusi.” Beliau bertanya, “Apakah kamu bisa kembali kepadanya, siapa tahu Allah memberikan hidayah melalui kedua tanganmu?” Aku bertanya, “Apakah Anda menyarankan itu kepadaku?” Beliau menjawab, “Iya.” Maka, aku pun mendatangi ayahku. Aku mendapatinya sedang sakit. Beliau berkata kepadaku, “Wahai putraku, apa yang menjadi keyakinanmu?” Maka, aku pun menceritakan kepada beliau, bahwa aku telah memeluk Islam. Beliau bertanya kepadaku, “Coba jelaskan agamamu itu kepadaku.” Aku pun menceritakan Islam dan pemeluknya kepada beliau. Beliau kemudian berkata, “Aku bersaksi, bahwa aku benar-benar telah memeluk Islam.” Beliau pun wafat dalam sakitnya itu. Aku menguburkannya, kemudian aku kembali menemui Imam al-Auza’i, lalu aku menceritakannya kepada beliau.” [Ibn Asyakir, Tarikh Dimasyqa, Juz XXX/231] Begitulah, kebiasaan generasi terbaik umat Nabi Muhammad ini di masa lalu. Mereka membersamai ulama’, dan benar-benar mengharapkan keberkahan dengan membersamai mereka. Contoh Adab Ulama’ Thawus bin Kisan berkata, “Di antara perkara sunah [tuntunan Nabi] adalah menghormati orang alim [yang berilmu].” [Ibn Abd al-Barr, Jami’ Bayan al-Ilm, Juz I/519] Al-Hasan al-Bashri menuturkan, “Ibn Abbas tampak menuntun tunggangan Ubay bin Ka’ab. Kemudian ada yang bertanya kepada beliau, “Anda adalah putra dari paman Rasulullah, Anda menuntun tunggangan seorang lelaki Anshar?” Beliau menjawab, “Sudah menjadi keharusan bagi tinta [sumber ilmu] untuk diagungkan dan dimuliakan.” [al-Khathib al-Baghdadi, al–Jami’ li Akhlaq ar-Rawi, Juz I/108] Amir as-Sya’bi juga berkata, “Ibn Abbas telah memegangi tungangan Zaid bin Tsabit, lalu beliau berkata, “Anda memegangi untukku, sementara Anda adalah putra dari paman Rasulullah?” Beliau menjawab, “Beginilah kami seharusnya memperlakukan ulama’.” [al-Khathib al-Baghdadi, al-Jami’ li Akhlaq ar-Rawi, Juz I/108] Dalam riwayat lain, Ibn Abbas memuji beliau dengan mengatakan, “Zaid bin Tsabit merupakan orang-orang yang ilmunya mendalam.” [ad-Dzahabi, Siyar al-A’lam an-Nubula’, Juz II/437] Abdurrahman bin Zaid bin Aslam berkata, “Yahya bin Sa’id telah membersamai Rabi’ah bin Abi Abdurrahman at-Taimi. Jika Rabi’ah berhalangan, Yahya menyampaikan hadits kepada mereka dengan sempurna. Beliau adalah murid yang banyak menguasai hadits. Tetapi, jika Rabi’ah hadir, maka Yahya pun menahan diri, karena menghormati Rabi’ah. Bukan karena Rabi’ah lebih tua darinya, padahal usianya sama. Masing-masing saling menghormati.” [ad-Dzahabi, Siyar al-A’lam an-Nubula’, Juz VI/92] Ubaidillah bin Umar berkata, “Yahya bin Sa’id biasa menyampaikan hadits kepada kami. Beliau pun menyampaikan kepada kami, ibarat mutiara. Tetapi, ketika Rabi’atu ar-Ra’yi muncul, seketika Yahya menghentikan penjelasannya, karena menghormati Rabi’ah dan memuliakannya.” [al-Khathib al-Baghdadi, al-Jami’ li Akhlaq ar-Rawi, Juz I/320] Muhammad bin Rafi’ berkata, “Aku bersama Imam Ahmad dan Ishaq di tempat Imam Abdurrazzaq. Hari Raya Idul Fitri menghampiri kami. Kami keluar bersama Abdurrazzaq ke tempat shalat. Kami bersama banyak orang. Ketika kami kembali, Abdurrazzaq mengajak kami makan. Beliau berkata kepada Imam Ahmad dan Ishaq, “Hari ini aku melihat ada yang aneh pada diri kalian berdua. Mengapa kalian tidak mengumandangkan takbir?” Imam Ahmad dan Ishaq menjawab, “Wahai Abu Bakar [Imam Abdurrazzaq], kami menunggu, apakah Anda mengumandangkan takbir atau tidak? Maka, kami pun akan mengumandangkan takbir. Ketika kami melihatmu tidak mengumandangkan takbir, maka kami pun menahan diri.” Beliau berkata, “Aku juga melihat kalian berdua. Apakah kalian berdua mengumandangkan takbir, atau tidak?” Maka, aku pun akan mengumandangkan takbir.” [ad-Dzahabi, Siyar al-A’lam an-Nubula’, Juz IX/566] Lihatlah, adab Imam Muslim kepada Imam al-Bukhari, gurunya, “Biarkanlah aku mencium kedua kakimu, wahai guru para guru, penghulu para ahli hadits, dan dokter hadits yang menguasai segala macam penyakitnya.” [ad-Dzahabi, Siyar al-A’lam an-Nubula’, Juz XII/432] Begitulah, adab dan akhlak para ulama’ di masa lalu.[] Facebook Notice for EU! You need to login to view and post FB Comments!
5vte. y8w3l691z4.pages.dev/686y8w3l691z4.pages.dev/746y8w3l691z4.pages.dev/457y8w3l691z4.pages.dev/307y8w3l691z4.pages.dev/512y8w3l691z4.pages.dev/476y8w3l691z4.pages.dev/491y8w3l691z4.pages.dev/765y8w3l691z4.pages.dev/443y8w3l691z4.pages.dev/562y8w3l691z4.pages.dev/300y8w3l691z4.pages.dev/691y8w3l691z4.pages.dev/645y8w3l691z4.pages.dev/405y8w3l691z4.pages.dev/341
adab sebelum ilmu ilmu sebelum amal